Lonceng bel tanda istirahat berbunyi. Anak-anak berseragam merah putih itu berhamburan keluar kelas. Rasa haus dan perut keroncongan memaksa mereka berlari membeli jajanan di luar pagar sekolah yang sudah menunggu setia. Ada es sirup berwarna merah segar dan makanan berwarna-warni yang menggoda selera.
Kita mungkin pernah bertanya: Apakah jajanan anak kita sehat dan aman?
Hasil penelitian Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pangan jajanan anak sekolah menunjukkan keadaan makanan itu sudah mengkhawatirkan. Sekitar 40-45 persen dari seluruh sampel yang diuji kedapatan menggunakan bahan kimia berbahaya, tidak memenuhi syarat kesehatan. Bahan kimia berbahaya itu meliputi bahan pengawet seperti formalin dan boraks, serta bahan pewarna seperti rhodamin B dan methanil yellow. Hasil penelitian itu dilakukan di 4500 sekolah SD se-Indonesia.
Kasus-kasus keracunan makanan jajanan sekolah terjadi di beberapa daerah, di Bogor salah satunya, puluhan siswa di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kampung Sawah, Desa Sawah, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, muntah-muntah dan badannya melemas. Diduga mereka keracunan setelah memakan jajanan berbentuk daging olahan dan bakso goreng dengan bumbu saos yang dijajakan pedagang di depan sekolah.
Lembaga Perlindungan Hukum Obat dan Makanan, Leo Irfan Purba yang mewakili 5 wilayah DKI Jakarta telah melakukan gugatan class action kepada BPOM yang diduga telah lalai melakukan pengawasan terhadap peredaran produk impor dari Cina berupa permen, manisan dan buah kering yang mengandung formalin. Gugatan secara berkelompok itu diajukan kepada panitera muda perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Para penggugat yang domisilinya tersebar di lima wilayah Jakarta itu mengklaim sebagai wakil kelas masyarakat Jakarta yang mengalami kerugian akibat beredarnya tujuh jenis permen, manisan, serta buah kering yang telah beredar selama bertahun-tahun di masyarakat, namun baru dinyatakan positif mengandung formalin oleh BPOM. (Antara, Senin 6 Agustus 2007).
Lemahnya lembaga pengawas makanan negara ini, meleluasakan produsen makanan yang nakal menggunakan bahan tambahan pangan bukan untuk makanan. Produsen semacam itu hanya mengejar keuntungan besar, dengan modal sedikit. Alasannya, bahan pengawet non makanan murah dan mudah didapat.
Padahal dalam UU No. 23 1992 tentang Hak Kesehatan Pasal 21 ayat 3 ditegaskan, makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawet pangan
Pemakaian bahan pengawet makanan sesungguhnya sudah dimulai sejak revolusi hijau di Indonesia pada tahun 1960an. Revolusi besar-besaran yang menggantikan cara-cara tradisional yang dianggap kurang memnuhi kebutuhan pangan masyarakat. Salah satu point-nya pemakaian pupuk kimia dengan menerapkan pestisida, agar aman dari serangan hama atau serangga yang menyebabkan gagal panen. Penggunaan pestisida terhadap kesehatan kita memang tidak berefek langsung, namun menurunnya kualitas tanah, rusaknya ekologi dan hasil pertanian yang mengandung residu pestisida yang dapat merusak tubuh.
Meskipun revolusi hijau tidak langsung berefek terhadap industri makanan, namun cara-cara pengawetan menggunakan bahan kimia (non food grade) sepertinya diikuti oleh produsen pangan. Dengan alasan ekonomis demi memperpanjang usia simpan bahan pangan. Untuk memperpanjang masa simpan (pengawetan) dibutuhkan senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi atau pengasaman.
Seiring kriris global, daya beli masyarakat juga menurun. Maka industri makanan pun terkena imbasnya. Mereka juga harus menurunkan biaya produksi dengan mengurangi ukuran atau menurunkan bahan baku, namun tetap menjaga kualitasnya. Sementara mereka juga harus bersaing dengan makanan impor.
Sayangnya banyak produsen makanan yang melanggar UU pangan dengan menggunakan bahan pengawet non food grade yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. karena formalin mempunyai efek karsinogenik atau menimbulkan kanker ganda.
Lemahnya hukum
Lemahnya pengawasan dari institusi negara dengan mudah meloloskan makanan impor mengandung formalin. Tanpa adanya kontrol dari Departemen Perdagangan, Bea Cukai, dan BPOM. Sudah menjadi rahasia umum bila terjadi “kongkalingkong” antara pengusaha dengan birokrasi untuk melicinkan lolosnya produk.
Akibatnya, beberapa produk yang mengandung zat berbahaya lolos ke pasar. Sebagai contoh, kasus tercemarnya 22 susu formula yang beredar periode 2003-2006 mengandung entrobacter sakazakii sejenis bakteri yang berpotensi menyebabkan penyakit diare, dehidrasi sampai radang otak. Itu mengindikasikan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap produsen susu.
Seharusnya kita belajar dari Cina. Pemerintah Cina menyita 76 ton susu bubuk mengandung melamin, bahan kimia yang menewaskan enam bayi pada dua tahun silam. Sebanyak 28 orang ditahan karena dituduh terlibat dalam kasus susu bermelamin pada 2008. Dua terdakwa dihukum mati. Kepala Pengawas Keamanan Makanan Cina, Li Changjiang mengundurkan diri karena gagal menghentikan penyebaran susu tercemar yang menyebabkan 53.000 bayi sakit dan empat lainnya meninggal dunia (Kompas.com, Selasa, 23 September 2008).
Bagaimana dengan hukum di Indonesia? Menurut Ketua Badan BPOM, Kustiah, BPOM telah berualang kali memperkarakan produsen nakal itu. Sayangnya hukuman hakim tidak membuat jera produsen nakal. Hakim seringkali memberi putusan ringan dengan denda 1,5 juta dengan alasan tidak ada korban jiwa akibat produsen nakal. Kustiah juga meminta kejaksaan dan produsen nakal dijerat dengan UU perlindungan kinsumen.
Alasannya jelas, setiap warga negara berhak mendapatkan kesehatan pangan yang diatur dalam UU Kesehatan pasal 21 ayat 1, pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan. Jika amanah undang-undang ini tak dijalankan, maka beralasan kita terus-menerus khawatir, zat-zat kimia berbahaya masuk ke tubuh anak-anak kita setiap hari.
adjis alamsyah
Friday, December 16, 2011
Related Posts